Rabu, 15 Februari 2012

Catatan K3 Indonesia Tahun 2011


“Pembunuhan di tempat kerja itu, masih terus berlangsung”

Pendahuluan

Selama tahun ini, telah terjadi banyak kejadian “dicelakakannya” buruh di tempat kerja. Ironis, ketika pemerintah sedang menggalakan Bulan K3, proses pembiaran terhadap kecelakaan kerja terus berlangsung. Kejadian di beberapa daerah yang terekam dalam media massa menunjukan bahwa masih tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia. Dan rata-rata korban kecelakaan kerja tidak mendapatkan kompensasi yang layak.

Permasalahan klasik dalam penegakan K3 seperti penggunaan bahan beracun dan berbahaya dalam proses produksi, lemahnya penegakan hukum dan kurangnya pengawasan, serta minimnya perlindungan terhadap pekerja hampir setiap tahun berlangsung tanpa ada terobosan yang berarti didalam memperbaiki kondisi kerja bagi pekerja. Hampir setiap tahun juga angka kecelakaan kerja di Indonesia sangat tinggi, dengan korban tewas dan cacat yang mencapai ribuan. Hal ini semakin melanggengkan stigma bahwa tempat kerja adalah tempat berlangsungnya pembunuhan secara perlahan terhadap pekerja.

Kondisi di Lapangan

Keterangan resmi pemerintah mengatakan bahwa dalam satu hari terdapat lebih dari sembilan orang meninggal akibat kecelakaan kerja. Angka kematian tersebut diperkirakan jauh lebih besar. Karena PT Jamsostek sebagai badan pemerintah hanya mendasarkan perhitungan kecelakaan kerja pada buruh-buruh yang menjadi anggotanya.[1] Padahal, masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan buruhnya kepada Jamsostek. Seperti diakui Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor, dari dua ribu industri di Kabupaten Bogor, hanya dua perusahaan yang disiplin melaporkan aktivitas K3-nya.[2]

Saat ini Jumlah tenaga kerja di Indonesia untuk sektor formal diperkirakan mencapai 30 juta orang, sekitar 9 juta pekerja telah diikutsertakan dalam program Jamsostek, sedangkan sisanya lebih dari 20 juta orang tenaga kerja formal yang belum tergabung dalam program Jamsostek. Begitu pun dengan pekerja informal yang jumlahnya mencapai 70 juta orang, hanya satu persen yang telah terlindungi oleh polis asuransi.

Secara umum, angka yang dilaporkan pemerintah mengenai kecelakaan kerja sebagai berikut:

Tabel 1

Data Kasus Kecelakaan kerja di Indonesia dari tahun 2001-2010

Tahun

Jumlah Kasus Kecelakaan Kerja

Meninggal

Cacat Total

Cacat Sebagian

Cacat Fungsi

Sembuh

2001

104,774

1,768

280

4,923

7,363

90,440

2002

103,804

1,903

393

3,020

6,932

91,556

2003

105,846

1,748

98

3,167

7,130

93,703

2004

95,418

1,736

60

2,932

6,114

84,576

2005

99,023

2,045

80

3,032

5,391

88,475

2006

95,624

1,784

122

2,918

4,973

85,827

2007

83,714

1,883

57

2,400

4,049

75,325

2008

93,823

2,124

44

2,547

4,018

85,090

2009

96.314

2.144

42

2.713

4.380

87.035

2010

98.711

1.965 (+)

31 (+)

2.313 (+)

3.662 (+)

78.722 (+)

Sumber : PT. Jamsostek dan Depnaker RI.

Dari data di atas, rata-rata kecelakaan kerja mencapai lebih dari 100.000 kasus per tahun. Data di atas diambil dari 9 juta orang pekerja formal yang menjadi anggota program Jamsostek dari total 100 juta orang pekerja di seluruh Indonesia. Artinya, terdapat 90 juta buruh Indonesia yang tidak dilindungi kesehatan dan keselamatan kerjanya. Para buruh tersebut bekerja di berbagai sektor informal. Untuk diketahui, para buruh informal mengalami hubungan kerja yang lebih buruk dibanding buruh formal, baik dari segi upah maupun kondisi kerjanya.[3]

Kondisi di beberapa daerah di Indonesia, sampai semester pertama tahun 2011menujukan skala yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya seperti di Karawang sampai dengan bulan Mei 2011 telah terjadi kasus kecelakaan kerja sebanyak 1.355 kasus terdiri dari, kecelakaan proses produksi sebanyak 883 kasus, kecelakaan lalu lintas sebanyak 472 kasus, meninggal dunia di tempat kerja sebanyak empat kasus dan meninggal dunia di jalan raya sebanyak 12 kasus[4]. Sedangkan di daerah Jawa Timur Angka kecelakaan kerja Hingga Agustus 2011 ini terjadi 9.846 kasus[5]

Bila dilihat secara per sector jenis usaha, angka kecelakaan kerja di sector jasa kontruksi paling tinggi dibandingkan dengan sector lainnya. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat hingga tahun 2010, kecelakaan kerja masih didominasi bidang jasa kontruksi (31,9%), disusul sector Industri manufaktur (31,6%), transport (9,3%) , pertambangan (2,6%), kehutanan (3,6%), dan lain-lain (20%)[6].

Tabel 2

Prosentase Kecelakaan Kerja Berdasarkan Sektor

Tingginya kecelakaan kerja disektor jasa kontruksi, salah satu penyebabnya adalah lamanya waktu pengerjaan dan dilakukan secara nonstop selama 24 jam. Hal ini menyebabkan tingkat kelelahan pekerja berada diambang batas. Selain itu, perlindungan kerja serta sosialisasi tentang pentingnya K3 di tempat kerja yang masih minim. karena bila dilihat dari kasus kecelakaan kerja di sector jasa kontruksi, banyak pekerja yang tewas terjatuh dari ketinggian ternyata tidak menggunakan alat perlindungan diri. Seperti kasus meninggalnya pekerja di proyek Trans studio di Bandung[7] atau terjatuhnya dua orang pekerja dari lantai 9 di sebuah proyek gedung di Surabaya[8], serta seorang buruh meninggal terjatuh dari lantai 15 di proyek pembangunan apatement di Depok[9].

Di sector Industri manufaktur, operator mesin produksi menjadi salah satu bagian yang paling rentan terhadap kecelakaan kerja. seperti yang dialami oleh Agus (22 thn) operator mesin produksi di PT Bintang Fajar, Jakarta meninggal akibat tergencet mesin press kertas[10]. Serta Yayan Rohyana (32 thn) yang tewas tertimpa mesin celup yang diangkut ke atas forklip di PT PMTI, Kabupaten Bandung[11]. Kasus lain yang cukup marak di tahun 2011 ini adalah banyaknya pekerja yang keracunan makanan. Di PT Newmont Nusa Tenggara (PT. NTT) 50 orang pekerja menjadi korban keracunan makanan, kasus yang sama juga terjadi di PT Shyang Ju Fung yang menelan korban 500 orang serta di PT KMK Global Tangerang yang menelan korban ribuan pekerja[12]. Mereka keracunan akibat menyantap makanan yang disediakan oleh perusahaan.

Sedangkan di sector pertambangan, kecelakaan kerja banyak terjadi di pertambangan yang dikelola secara inkonvensional. Dan tanah longsor atau tertimbun galian menjadi penyebab banyaknya pekerja yang tewas. merujuk catatan Bangka pos dari Januari-Juli 2011 di provinsi Bangka Belitung sudah terjadi 21 kasus kecelakaan di Tambang Inkonvensional ini dan menyebabkan 26 nyawa melayang. Catatan dari organisasi Wahana Lingkungan Hidup provinsi Bangka Belitung lebih dari 150 orang tewas setiap tahunnya terkait pertambangan bijih timah di provinsi Bangka Belitung ini[13].

Data yang tidak diungkapkan oleh pemerintah sampai saat ini adalah angka korban penyakit akibat kerja sebagaimana yang diatur dalam No. 22 Tahun 1993 mengenai Penyaki Akibat Kerja. Akan tetapi suatu hal pasti bahwa angka tersebut sangatlah tinggi. Mengingat masih rendahnya penerapan management sistem K3 yang diterapkan perusahaan-perusahaan di Indonesia serta maraknya penggunaan bahan berbahaya dan beracun dalam proses produksi.

Dari paparan diatas semakin menegaskan Laporan tahun 2008 yang dibuat oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang memasukkan Indonesia sebagai negara dengan angka kecelakaan kerja terbesar kedua di dunia dari 53 negara yang disurveinya[14].

***

BOX 1 : Kisah korban

Pada bulan Oktober 2010, Samsuri (36 tahun) harus beristirahat total di rumahnya. Dia di vonis oleh Dokter rumah sakit Medirusa Bekasi mengalami penyakit akibat kerja dengan diagnose mengalami pergeseran tulang belang. Dan sampai saat ini, pekerja yang sudah bekerja lebih dari 13 tahun di PT Rapipack ini sudah menjalani puluhan kali fisioteraphy dan berbagai pengobatan lainnya sebagai upaya untuk mengembalikan kesehatannya.

Samsuri mulai bekerja di pabrik yang memproduksi karton Box ini sejak tahun 1997 dan bertugas sebagai operator, dengan tugas utamanya memindahkan bahan baku produksi dari tempat penyimpanan ke tempat produksi. Setiap hari dia harus mengangkat material sagu atau terigu seberat 50 kg dan dalam total sehari seberat 2,4 ton.

Pada Desember 1999 dia mengalami kecelakaan kerja. dia terjatuh dari tangga setinggi 4 meter. Akibat dari itu, lengan tangan kanannya patah dan retak jadi tiga serta pinggulnya cedera. Hampir tiga bulan lebih di melakukan rawat jalan sampai akhirnya dia dinyatakan sembuh total dan dapat bekerja kembali.

Pada Tahun 2007, dia sering merasakan sakit dibagian pinggul atau tulang belakang. Dia beranggapan, bahwa sakit tersebut hanya disebabkan oleh factor kelelahan. Pada saat itu dia hanya melakukan control rutin ke dokter umum. Dan dokter hanya memberikan obat dan memintanya istirahat. Sampai pada bulan April 2009, ternyata sakit pinggul yang dideritanya semakin parah, sampai tidak bisa berjalan. Atas kejadian itui pihak dokter umum merujuknya ke dokter specialis syaraf, orthopedic dan rehab medic.

Setelah dilakukan diagnosa, baru diketahui bahwa tulang belakangnya telah bergeser tiga ruas dan tulang belakang yang paling bawah bertabrakan dengan tulang ekor sehingga tulang belakang yang paling bawah mengalami ke-aus-an dan syaraf tulang ekornya terjepit. Sampai sekarang menjadi pasien rawat jalan khusus di RS Medirusa.

Vonis dari dokter ortopedi, syaraf dan rehab medic menyatakan bahwa penyakit yang diderita oleh pria berumur 36 tahun ini positive penyakit akibat kerja. tim dokter tersebut merekomendasikan penanganan selanjutnya agar dilakukan operasi dan dipasang engsel dua ruas tulang belakang agar ketarik pada posisi semula. Akan tetapi operasi tersebut membutuhkan biaya yang sangat tinggi kurang lebih Rp. 380 juta dan itupun dengan jaminan kesembuhan paska operasi hanya 50%.

Rekomendasi dokter tersebut di sampaikan kepada pihak perusahaan, dan sudah bisa ditebak hasilnya bahwa perusahaan keberatan untuk menanggung pembiayaan operasi tersebut. Di sisi lain, pihak Jamsostek tidak bisa menanggung sepenuhnya karena batas maksimal biaya untuk penanganan kecelakaaan kerja hanya Rp. 12.000.000.- bahkan pihak Jamsostek pernah menegur dokter yang menangani rawat jalannya dengan alasan lamanya fisioterapi yang dilakukan dan biaya obat nya yang mahal. Karena sikap pihak jamsostek tersebut, Kemudian dokter memanggil pihak jamsostek dan rumah sakit dan menjelaskan semua proses dari penyakit akibat kerja dan sudah menjalankan semua prosedur, dan obatnya pun masih standar yang direkomendasikan jamsostek.

Apa yang terjadi pada dirinya, membuat keluarga dekatnya shock, karena sakit yang dideritanya tidak sembuh-sembuh dan pertanggungjawaban perusahaan sangat kurang. Secara pribadi, Samsuri mengakui bahwa sejak mengalami sakit itu, produktivitas kerjanya menurun dan dia tidak bisa lagi mengangkat dan menjunjung beban yang lebih dari 5 kg.

Di tempatnya bekerja saat ini, sudah ada 3 orang pekerja yang di diagnose mengalami penyakit akibat kerja yang sama seperti Samsuri. Dan puluhan lainnya telah mengalami gejala yang sama, terutama mereka yang bekerja di atas usia 30 tahun serta masa kerja 7 tahuun keatas di bagian operator mesin corrugating dan ketel uap.

Dia mengakui bahwa sampai saat ini serikatnya masih kurang masimal didalam memperjuangkan K3. Sampai saat ini serikatnya hanya melakukan sosialisasi perihal alat perlindungan diri (APD). Rencana Kedepannya dia akan melakukan advokasi kasusnya dengan mengajukan kasus ini ke ranah hukum.


Riak Perlawanan

Berdasarkan pantauan Local Initiative for OSH Network Indonesia dari media massa dan diskusi dengan beberapa aktivis serikat buruh tingkat wilayah, sampai semester pertama 2011 kecelakaan dan penyakit akibat kerja terus terjadi di berbagai daerah. Di Bandung,[15] Banjarmasin,[16] Cilacap[17], Tangerang, Malang,[18] dan daerah lainya serta terus terjadi dengan berbagai variasi ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan kerja

Meski demikian, di berbagai daerah ada pula kecenderungan untuk menginsyafi pentingnya kesehatan bagi para buruh. Kesadaran tersebut diwujudkan dengan tuntutan-tuntutan ditegakkannya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja –meskipun dapat pula diartikan karena tingginya pelanggaran hak-hak normatif. Seperti diperlihatkan di Medan,[19] Jakarta,[20] dan Bandung Barat,[21] para buruh tidak saja menuntut kepastian kerja tapi menuntut pula keamanan kerja.

Di tengah gejolak upah rendah, PHK massal dan semakin maraknya informalisasi tenaga kerja, tuntutan perbaikan kondisi kerja dan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja terus menyeruak.

Tingginya pelanggaran hak normatif ditambah maraknya informalisasi tenaga kerja tecermin utuh dalam kasus PT Daya Mekar Tekstindo di Kabupaten Bandung Barat Jawa Barat. Media massa memberitakan bahwa kasus di PT Daya Mekar Tekstindo terkait dengan tidak dibayarkannya uang Jamsostek (Pikiran Rakyat, 12/01/2011). Sehingga mendorong para buruh untuk beraksi.

Dari beberapa informasi yang dikumpulkan tercatat bahwa sejak beroperasi tahun 1991, PT Daya Mekar Tekstindo memperlakukan para buruhnya dengan buruk. Pada 2003 terjadi kecelakaan kerja yang menimpa dua orang buruhnya: jari mereka terputus. Pada 2008, seorang buruh meninggal, akan tetapi tidak mendapatkan santunan yang layak. Begitu pun pada 2010, terjadi lagi dua orang buruh meninggal.

Di perusahaan tersebut, tidak hanya terdiri dari buruh tetap. Pergantian buruh tetap ke buruh kontrak, diduga terjadi per bulan. Semua buruh di PT Daya Mekar Tekstindo tidak didaftarkan ke Jamsostek. Sehingga berbagai kecelakaan kerja yang dialami para buruh diselesaikan dengan “kekeluargaan”, yakni jauh dari nilai kerugian yang dialami para korban. Tentu saja korban kecelakaan kerja tidak mendapatkan layanan rehabilitasi. Dalam banyak kasus, korban kecelakaan kerja, biasanya langsung di-PHK. Di tengah berbagai permasalahan pelik lain yang mengancam keberlangsungan hidup para buruh, pekerjaan menjadi penyambung hidup mereka dan keluarganya. Tidak sedikit buruh yang di-PHK akibat aktif berserikat atau melakukan tindakan protes terhadap kebijakan perusahaan. PHK adalah monster yang tiap detik menghantui para buruh. Karena itu, bukan hal yang mudah untuk menggalang persatuan di kalangan buruh.

Namun, rangkaian kecelakaan dan minimnya perlindungan, memicu para buruh untuk bersatu dan saling mendukung. Para buruh memprotes pengusaha yang sewenang-wenang. Demonstrasi pada 12 Januari 2011 di PT Daya Mekar Tekstindo merupakan aksi kali pertama yang dilakukan sejak pabrik tekstil itu berdiri di Bandung Barat.

***

Dari keterangan-keterangan di atas, setidaknya ada beberapa hal yang patut digarisbawahi. Pertama, ancaman keselamatan dan kesehatan kerja masih sangat tinggi. Ancaman terhadap keamanan kerja, penggunaan bahan berbahaya (bahan kimia, biologis, dan bahan beracun dan berbahaya lainnya) yang masih tinggi dalam proses produksi. Seperti masih diperbolehkannya penggunaan asbes yang dibanyak negara sudah dilarang karena dianggap bahan karsinogen yang paling berbahaya penyebab kanker. Maraknya penggunaan bahan beracun dan berbahaya ini, diperparah dengan buruknya sistem manajemen K3 di tiap perusahaan.

Di beberapa tempat, peristiwa terpaparnya buruh di tempat kerja bukan sekali terjadi. Di Malang Jawa Timur, kasus kebocoran gas amoniak di PT Bumi Menara Internusa menyebabkan 51 pekerja pingsan dan hal serupa pernah terjadi pada tahun 2006 di pabrik pengolahan udang ini yang menyebabkan 45 buruh pingsan[22]. Buruknya sistem K3 pada Industri ini tidak hanya berdampak buruk pada pekerja di dalam pabrik, lingkungan disekitar pabrikpun menjadi korban. Puluhan warga yang tinggal di sekitar PT Semen Andalas Indonesia (PT. SAI) terpaksa harus mengungsi karena tidak sanggup mencium bau amoniak dari asap batu bara milik pabrik semen tersebut dan bahkan salah satu diantaranya harus dirawat di rumah sakit karena sesak nafas yang diduga akibat menghirup gas beracun yang disemburkan pabrik tersebut.[23]

Berbagai insiden ini, memperlihatkan buruknya sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan tersebut.

Memang ada beberapa perusahaan mencoba menerapkan aturan atau sistem keselamatan dan kesehatan kerja. Namun, banyak orang menduga bahwa penerapan tersebut dilatarbelakangi kepentingan pragmatis, seperti untuk menghindari teguran pemerintah dan sekedar mengejar order dari buyer. Pasalnya, sejumlah negara menetapkan persyaratan baru dalam perdagangan bebas, yakni persyaratan terhadap penerapan Sistem Mutu Manajemen melalui ISO 9001 Series, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14000 Series, dan OHSAS 18001.

Kedua, perlindungan terhadap pekerja yang diberikan pemerintah masih bersifat diskriminatif dan limitatif: hanya kepada buruh formal untuk waktu tertentu. Sebagaimana dikatakan Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban bahwa pekerja formal yang berstatus tetap hanya 35 persen dari 33 juta pekerja formal yang ada di Indonesia. Padahal, lima tahun lalu jumlahnya mencapai pekerja formal yang berstatus tetap mencapai 70 persen. Data lain menunjukan dari 33 juta pekerja formal, hanya 9 jutaan atau 27 persen yang telah mendapat jaminan dari Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Sementara dari 70 jutaan pekerja informal, hanya satu persen yang terjamin jaminan sosial.[24]

Selain itu, cara kerja Jamsostek yang pasif. Jamsostek tidak melakukan apapun pada perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja dalam jaminan social ini. Hal ini bisa di lihat dari rendahnya kepesertaan Jamsostek yang hanya sekitar 30 persen dari total pekerja formal yang ada di Indonesia. Di beberapa daerah bahkan lebih parah, seperti di Lumajang-Jawa timur, dari 600 perusahaan yang beroperasi, hanya 150 perusahaan saja yang tercatat sebagai peserta Jamsostek[25]. Di Cimahi-Jawa Barat, hanya 10 persen perusahaan yang mendaftarkan pekerjanya dalam program Jamsostek[26]. Bahkan yang sector jasa kontruksi yang sangat rentan terhadap kecelakaan kerja, kepesertaan program ini masih sangat rendah, menurut data Jamsostek, hanya 10% dari total peserta Jamsostek yang berasal dari tenaga kerja kontruksi di proyek swasta. Selebihnya, peserta Jamsostek didominasi tenaga kerja kontruksi dari proyek pemerintah, karena soal jaminan kesehatan masuk sebagai salah satu syarat saat lelang[27].

Sebelumnya anggota Komisi IV DPRD Kota Cimahi, Ike Hikmawati menduga, adanya kejanggalan yang dilakukan oleh perusahaan dalam memberikan fasilitas jamsostek kepada para pekerjanya. Di antaranya yakni, dari jumlah perusahaan yang tercatat sebagai anggota jamsostek, tidak semua pekerja di perusahaan tersebut turut didaftarkan menjadi anggota jamsostek. Padahal, dari segi hukum, setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi anggota jamsostek sesuai dengan jumlah pekerjanya[28].

Selain persoalan perlindungan pekerja, sistem pengawasan yang dilakukan pemerintahpun tidak berjalan secara optimal. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan antara pengawas ketegakerjaan dalam bidang K3 dengan jumlah industri di Indonesia. Dari 216.547 perusahaan yang terdaftar di Kementerian Tenga Kerja dan Transmigrasi, hanya diawasi oleh sekitar 2.384 pengawas ketenagakerjaan yang terdiri dari 1460 orang pengawas umum, 361 pengawas spesialis, 563 Penyidik Pegawai Negeri Sipil[29]. Itu pun tidak merata di setiap daerah. Sebagai contoh, di Kepulauan Batam yang dijadikan Zona Ekonomi Ekslusif, hanya memiliki 6 orang pengawas hubungan industrial sementara terdapat sekitar 2.500 perusahaan dengan sekitar 266.000 buruh.[30] Sementara di kota Malang memiliki 7 orang pengawas termasuk 3 orang pengawas industry yang harus mengawasi 860 perusahaan[31].Bahkan di beberapa daerah tidak memiliki pengawas yang secara khusus memiliki pengetahuan di bidang K3.

Persoalan lainnya adalah minimnya program pemerintah di dalam permasalahan ketenagakerjaan. Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Wahyu Sosial yang menyatakan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk Dinas Tenaga Kerja di daerah sangat minim dan itu pun sebanyak 70 persen dialokasikan untuk memfasilitasi kepentingan pengusaha untuk mencari tenaga kerja baru dalam bentuk job fair. Hanya 10 persen yang dialokasikan untuk melakukan pengawasan terhadap sekian ribu pabrik yang beroperasi.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Maraknya pelanggaran hak normative pekerja khususnya dalam hak K3 yang telah menelan korban ribuan pekerja setiap tahunnya. sepertinya terus dibiarkan oleh pemerintah dengan tidak adanya penerapan sanksi yang tegas kepada perusahaan yang melanggar. Proses pembiaran ini jelas semakin memberikan angin segar kepada perusahaan yang selalu berlindung dibalik alasan ketiadaan dana atau penurunan produksi untuk tidak menerapkan aturan yang melindungi pekerja. Lemahnya sanksi hukum terhadap perusahaan yang melanggar aturan K3 tercermin didalam produk perundang-undangan yang ada. Sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Dalam UU ini, sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hanya dikenakan denda Rp. 100.000 dan atau 6 bulan masa kurungan. Sedangkan Sementara menurut UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 86 dan 87 akan mendapatkan denda Rp. 500.000.000-. akan tetapi sampai saat ini, maraknya pelanggaran K3 oleh perusahaan tidak pernah sampai masuk pada ranah pengadilan. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hanya berani sampai tahap memberikan teguran kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran tersebut.

Keempat, informalisasi kerja atau berubahnya status tenaga kerja tetap menjadi buruh sementara. Juga, dialihkannya pekerjaan kepada industri-industri rumahan. Cara kerja demikian mendapatkan legitimasinya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan khususnya pasal-pasal pemborongan pekerjaan dan penggunaan tenaga kerja untuk waktu tertentu. Dengan berlakunya sistem kerja fleksibel, berbagai kerugian dialami para buruh, karena hilangnya hak-hak dasar buruh di tempat kerja. Sementara perusahaan dengan mudah dapat menghindari kewajibannya untuk melindungi buruh dari kecelakaan kerja ataupun penyakit akibat kerja.

Kelima, minimnya sosialisasi dan pendidikan K3 bagi buruh. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah, pengusaha dan serikat buruh di dalam memberikan keterampilan dan pengetahuan di dalam meningkatkan kepedulian bersama untuk menciptakan kondisi kerja yang layak. Saat ini, masih bisa terhitung serikat buruh yang memiliki program pendidikan K3 bagi anggotanya. Informasi yang dikumpulkan Local Insiative for OSH Network pada 2009, bahwa rata-rata serikat buruh memaknai program K3 sebatas pelatihan pemadam kebakaran dan perihal Jamsostek. Ada dua hal yang tidak diprioritaskan serikat buruh, yakni: tidak memaknai K3 sebagai bagian integral dari hak-hak dasar buruh dan tidak menempatkan K3 dalam kerangka program perjuangan yang harus dituntut kepada pengusaha dan negara.

Di samping itu, di mata pemerintah maupun pengusaha, tampaknya urusan K3 dianggap sebagai beban biaya produksi dan hanya berkenaan dengan teknis alat perlindungan diri. Dua hal tersebut menjelaskan mengapa banyak buruh yang tidak didaftarkan untuk mengikuti program Jamsostek. Dan, perusahaan maupun pemerintah berpuas diri ketika mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan zero accident.[32]

Persoalan di atas bermuara pada semakin lemahnya serikat buruh untuk memperjuangkan kepentingan dasar anggotanya. Seperti diakui oleh beberapa serikat buruh bahwa selama 2010 gerakan buruh terus menurun. Kelesuan gerakan buruh diperlihatkan dengan menurunnya keterlibatan massa buruh dalam aksi, menurunnya intensitas aksi massa dan tuntutan buruh masih berputar di isu-isu normatif.[33]

Melemahnya serikat buruh terutama disebabkan menurunnya keanggotaan. Selama 2010, banyak anggota serikat yang di-PHK untuk diganti oleh buruh kontrak. Namun, keadaan tersebut diperparah dengan sifat serikat buruh yang konservatif: berbasis pada buruh tetap dan formal serta sistem di internal serikat yang tidak partisipatif.

Ke depan, layak untuk dipikirkan bagaimana membangun serikat yang dapat menjawab persoalan-persoalan ketenagakerjaan. Di samping mempertahankan jumlah anggota yang tersedia, membengkaknya angkatan kerja informal, sudah saatnya untuk dipikirkan model pengorganisasiannya.

Selain itu, mesti dipikirkan juga adalah program-program utama serikat dalam memperjuangkan anggota. Dalam banyak hal, menuntut kenaikan upah akan sangat berguna bagi peningkatan pendapat buruh dan keluarganya. Namun, upah yang besar tidak akan pernah mencukupi jika salah satu anggota keluarga mendapati kesehatan yang buruk. Karena itu, serikat harus merancang-ulang bagaimana mengajukan program-program kesehatan untuk pekerja maupun keluarganya. Program tersebut tidak dimaknai sebagai teknis pelayanan kesehatan, tapi sebagai hak warga negara di depan negara untuk mendapatkan kesehatan yang murah dan berkualitas.



[1] Media Indonesia – 26 Januari 2011

[2] LIPS, catatan Workshop Jaringan K3 di Indonesia, Juli 2009

[3] Lihat Laporan penelitian AKATIGA tentang Hubungan perburuhan disektor informal tahun 2003.

[4] www.poskota.co.id - 9 Juni 2011

[5] www.surabayapost.com – 15 September 2011

[6] Suara Merdeka – 13 April 2011

[7] Seorang pekerja bangunan di projek pembangunan Trans Studio Bandung Supermal (BSM) tewas, akibat terjatuh dari ketinggian. Sedangkan dua orang lainnya terluka parah (Pikiran Rakyat, 12/12/2010).

[8] Dua Kuli terjatuh dari lantai 9 sebuah bangunan di jalan manyar Kertoarjo 44. Seorang kuli tewas sedangkan seorang lagi mengalami luka parah. Kedua korban terjatuh saat menerik triplek dari lantai dasar ke lantai 9 (www.surabaya.detik.com - 20 Januari2011)

[9] Dua orang buruh tewas akibat kecelakaan kerja di Depok dan Ciracas Jak-tim. Seorang terjatuh dari lantai 15 proyek pembangunan apartemen di depok dan satu lainnya akibat lehernya terkena gerinda ( www.poskota.co.id – 23 Mei 2011)

[10] Tribunnews.com – 11 Juni 2011

[11] www.pikiran-rakyat.com – 2 Agustus 2011

[13] Bangkapos.com – 19 agustus 2011

[14] www.indopos.co.id - 03 April 2008

[15] BANDUNG – Delapan orang pekerja keracunan zat kimia. "Saya mah lagi kerja bangunan di rumah itu. Saya lihat orang yang biasa kerja bikin lambang itu tiba-tiba sempoyongan. Dia membuka kayak zat kimia gitu. terus langsung sempoyongan. Muntah-muntah. Saya yang agak jauh aja pusing. Tapi, saya enggak parah. Mereka yang enam orang pekerja itu yang dibawa ke rumah sakit," kata Amung saat ditemui di lokasi kejadian (Tribun Jabar, 17 Januari 2011).

[16] BANJAR MASIN - Lima Karyawan Telkom Tersengat Listrik. Menurut salah seorang pekerja Telkom yang ikut tersengkat aliran listrik, Husin (41), ia bersama empat temannya, Jumat (21/1/2011), sedang memasang tiang Telkom saat tiba-tiba tiang atas menyentuh kabel listrik dan secara tak diduga muncul sengatan dahsyat (Kompas, 21 Januari 2011).

[17] CILACAP - Kecelakaan kerja terjadi di Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Selasa (13/9) malam, yang mengakibatkan tiga orang tewas dan empat lainnya kritis. Satu di antara korban tewas adalah warga negara asing (WNA). (www.detik.com – 14 September 2011)

[18] MALANG - Sedikitnya 51 buruh PT Bumi Menara Internusa (BMI) serentak kelenger gara-gara menghirup gas amoniak di pabrik pengolahan udang di Jl Pahlawan, Dampit, Kabupaten Malang, Rabu (19/1). Tiba-tiba hidung mereka disergap bau asing mirip bau obat keriting rambut. “Tiba-tiba saja tenggorokan terasa kering, serik dan mual,” tutur Susiana (45), buruh bagian packing, saat dirawat di Puskesmas Dampit (Surya, 20 Januari 2011)

[19] MEDAN - Meninggalnya Tri Ardiansyah, seorang buruh PT Siantar Top Tbk dalam kecelakaan kerja tak jelas nasibnya. Pasalnya, pimpinan perusahaan pengembang produk makan dan minuman itu tidak memasuki korban sebagai peserta Jamsostek. Akibatnya, Aliansi Buruh Deli Serang (ABDES) mengecam dan mengutuk keras PT Siantar yang terletak di Jalan Medan-Tanjungmorawa Km 12,8 ini, melanggar program Jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek (waspada.co.id, 16 Januari 2011)

[20] JAKARTA – Ratusan buruh PT Rismar Daewoo Apparel di KBN Cakung mogok kerja. Mereka menuntut pihak perusahaan memperhatikan peraturan bersama yang telah disepakati yakni masalah kelebihan jam kerja yang tidak dibayar selama 2 tahun (skorsing waktu), program JPK agar dilaksanakan, hak cuti, graet THR, great gaji dan tidak ada pergantian hari kerja di hari minggu (Pos Kota, 13 Januari 2011)

[21] BANDUNG BARAT - Sebanyak 250 buruh PT Daya Mekar Tekstindo di Jalan Giri Asih, Desa Giriasih, Kecamatan Batujajar, Bandung Barat, berunjukrasa di depan pintu masuk perusahaan. Mereka menuntut dibayarkannya uang Jamsostek yang sejak 2003 belum pernah dibayarkan kepada mereka. Dikatakannya, total tagihan yang dituntut para karyawan adalah sebesar Rp. 167 juta. Aksi di picu setelah dua orang buruh PT Daya Mekar Tekstindo meninggal akibat kecelakaan kerja dan tidak memperoleh santutan semana layaknya (Pikiran Rakyat, 12 Januari 2011)

[22] www.surya.co.id – 20 Januari 2011

[23] www.nasional.inilah.com - 6 Agustus 2011

[24] Republika - 24 Desember 2010

[26] www.antarajawabarat.com – 21 Juli 2011

[27] www.solopos.com – 26 Mei 2011

[28] www.antarajawabarat.com – 21 Juli 2011

[29] www.poskota.co.id -12 Maret 2011

[30] Kompas- 9 April 2010

[31] www.mediaindonesia.com – 27 Februari 2011

[32] Informasi ini didapat dari aktivis serikat di Kabupaten Bandung Barat Jawa Barat pada 2009. Dalam diskusi tersebut terungkap fakta bahwa K3 bukan lagi masalah, karena tiap tahun ada lomba K3.

[33] Informasi ini diperoleh dari hasil diskusi dengan serikat buruh di Kabupaten Serang pada 9 Januari 2011.

1 komentar: